Senin, 13 Februari 2017

Tahun Asing

Januari satu tahun yang lalu, di enam hari pertama, aku banyak diserang oleh rasarasa asing. Rasarasa yang tidak masuk akal. Lahirnya darimana, aku tak tahu. Harus diolah bagaimana, pun aku tak paham sama sekali. Bulan itu, penuh dengan banyak tanda tanya.

Di bulan kedua, rasarasa semakin tidak ramah, aku seringkali 'terserang' terutama saat menjelang pagi. Waktu kantuk biasanya datang, berganti gamang. Bulan ketiga, keempat, kelima, dan keenam, rasarasa yang asing itu semakin beranak pinak, menyisakan tak lagi tanda tanya, bahkan curiga. Sesekali, aku merasa teralienasi dari diri sendiri.

Saat bulan tujuh, di saat tubuh belum lagi sembuh, rasa lelah dan kerinduan pada rengkuh yang bisa kujadikan tempat berlabuh, menumpulkan kepekaan, hantuhantu kepala membisikkan pembenaran. Aku terjatuh dalam euforia semata.

Satu bulan kemudian, tak ada riuhriuh pembenaran. Sedikit demi sedikit, mereka merontokkan diri. Lapang yang tak lengang menampar kesadaran yang dibawa angin. Bahwa aku masihlah harus sendiri. Interaksi manusia, menarikku untuk berjalan pada jalur yang lain. Jalur yang membawaku kembali pada rasarasa asing yang mulai terasa akrab. Aneh bukan, asing yang ingin diakrabi, yang entah akan menjadi tak asing, ataukah menjadi rasa yang bisa dipahami.

Tibatiba aku ingin berlari, jauh. Bayangbayang timur mendominasi. Dalam mimpi, aku digerogoti perasaanku sendiri. Hati sudah terkoyak sepi. Satu tanganku, menggenggam ilalang, dari romantisme masa lalu yang panjang. Ladangnya, menjadi tempatku sementara untuk pulang. Sang tuan kembara yang hilang dalam perjalanannya.

Dia ilalang, sedikit saja genggaman kueratkan, tak butuh waktu lama untuknya patah. Aku tahu, aku tidak bisa selalu menyimpan ruang aman untuk bersembunyi dari si rasa asing. Ilalang kubuang, aku kembali mencari makna pulang.

Wajahwajah beberapa hadir, memberikan senyum dan tawa sedikit hambar. Lapislapis topeng kupasang. Lumayan, sebagai bentuk pertahanan diri dari keadaanku yang sebenarnya dan mudah kulakukan. Lagipula, wajahwajah itu memang hanya pantas dihadapi dengan topeng saja. Sesaat, aku keasikkan bermain peran.

Lalu datang tangis dari orangorang yang aku lupa, kasih mereka tak pernah kelihatan namun selalu ada. Hidup mulai dibicarakan, tangantangan mereka mengelus punggungku. Aku pun menangis. Lalu lega. Dalam kepala, rasa asing membentuk petanya sendiri.

Di bulan keduabelas, doadoa pada semesta mengalir deras menjelang pagi.


Sabtu, 18 Januari 2014

tempat tinggal sahabat

hey mama, hari ini tidak kemana-mana?

seharusnya sih pergi ke acara Muludan. tapi tidak jadi.

loh kenapa? biasanya semangat pergi ke acara semacam itu.

cuma tidak enak perasaan, seharian ini bapak menangis.

hah? menangis? karena kakinya yang sakit? bapak belum pergi ke rumah sakit lagi?

bukan, sudah beberapa hari ini sakitnya tidak hanya kaki. tapi sampai ke hati. sebagai kakak sulung dari beberapa adiknya, sudah sangat lama bapak tidak bertemu mereka. apalagi sekarang dengan kondisi bapak yang begini. walaupun mereka semua sudah diberi kabar, tapi sampai saat ini tidak ada satupun yang datang. padahal kalau mau berprasangka buruk, kami di sini tidak akan meminta sepeserpun biaya berobat bapak pada mereka. mama juga masih mampu! yah, walaupun kamu mungkin bisa mengerti bahwa bapak sebegitu dingin dan cuek pada segala hal rumah tangga, tapi biar begitu melihat bapak sakit hati seperti ini mama juga tidak tega dan ikut sedih. mama tidak mengerti dengan apa yang dipikirkan adik-adiknya bapak!

sabar ya ma, mama memang selalu baik hati, semoga bapak cepat baik.

terimakasih ya.

---------
hari ini kamu mencuci? tumben rajin.

sesekali boleh saja! lagipula kamu pikir siapa yang akan mencuci segunung tumpukan pakaian ini?! adikku Ridwan?

hahaha, tentu saja tidak, tapi bukan tidak mungkin juga. walaupun adikmu tetap sangat manja di usianya yang sudah kelas empat Sekolah Dasar, bukan berarti dia tidak bisa mencuci bukan? mungkin kakaknya saja yang tidak bisa mengajarkannya.

jangan mengolok-olok deh, kamu tahu dan dengar sendiri tadi kan. aku kasihan pada mama. walaupun dulu bapak tidak begitu jadi suami yang baik baginya, tapi di saat begini mama justru mengabdikan dirinya sebagai istri yang baik. dan akupun mengakui, meskipun bapak adalah tiri bagiku tapi aku pun cukup menghargainya. apalagi dengan kondisinya yang sekarang. aku cukup mengerti perasaannya.

ya, sampai saat ini belum ada satupun keluarga bapak yang datang menengok?

belum. kalau kamu tahu, dulu saja ketika mereka susah, mereka datang kemari meminta pertolongan. bilangnya mengandalkan sesama keluarga. apalagi masalah keuangan. dan memangnya selama ini yang memegang perekonomian rumah tangga bapak? kamu tahu sendiri, semuanya selalu dari mama. bapak hanya seorang pensiunan yang entah masih memiliki uang pensiun apa tidak, aku tidak peduli. dan mama selalu berbaik hati menolong mereka. ya, jangankan mereka yang bisa dikatakan sebagai adik ipar. pada anaknya bapak dari istri sebelumnya pun mama sangat perhatian dan tidak hitung-hitungan dalam menolongnya! kamu lihat sendiri kan, mama memberikan sebagian rumah ini untuk ditinggali olehnya dengan istri dan dua anaknya. dan baru-baru ini aku tahu, bahwa hal itu mungkin sementara selama kakak tiriku itu membangun rumahnya sendiri. kamu tahu rumah barunya itu?

tidak.

beberapa hari ini mulai banyak tamu yang datang saat siang, seorang, dua orang, tua, tengah baya, sempat seorang ibu.

lalu? kaitannya dengan rumah kakak tirimu?

semua orang itu menawar sawah mama. mereka ingin membelinya. dan semuanya mama tolak. saat kutanya mengapa mama hanya menjawab sederhana saja. uangnya untuk apa, lagipula banyak orang yang kesusahan membeli beras untuk makan, kita seharusnya bersyukur tidak pernah susah karena tidak perlu membeli beras bahkan bisa memberi. itu semua dari sawah yang mereka tawar. begitu.

gerimis mulai turun, kamu yakin akan tetap menjemur semua hasil cucianmu?

ah, iya. cuaca belakangan ini memang tak tentu, sebentar hujan sebentar cerah. mungkin kali ini pun begitu. biar saja. bantu aku.

waw, cukup berat ternyata, ugh..lalu rumah kakakmu...

oh iya, kamu tahu di mana itu? di tanah sawah yang tadi kubicarakan itu.

maksudmu..mama menolak semua tawaran pembelian dari orang-orang tak dikenal itu karena diberikan pada kakakmu?

tepatnya bukan memberikan begitu saja sih, tetapi meringankan. orang-orang yang menawar sawah itu menyebutkan harga yang pantas kurasa. dan mama tidak tergiur sama sekali dengan jumlah nominalnya. kakakku diperbolehkan membeli tanah sawah itu secukupnya tidak semua, namun dengan harga yang sangat jauh dari jumlah yang ditawarkan orang-orang itu. bahkan, mama sendiri yang menawarkan harga rendah itu. tadinya, jika mama tidak melihat aku sebagai anak kandungnya, tanah untuk kakakku itu akan diberikan secara cuma-cuma. menurutnya, selama ia mampu menolong mengapa tidak ia lakukan.

wah..mamamu pasti sangat menghargai bapak ya. sebaiknya minta tolong saja pada kakakmu itu untuk memanggilkan paman dan bibinya untuk menjenguk bapak. dia sudah tahu kondisi ini kan?

sudah dicoba, tetap tidak ada kabar balasan. nah, terimakasih sudah membantu menjemur, jadi cepat selesai. kau mau kubuatkan kopi?

tentu saja. sekalian kuperbaiki anti virus di laptopmu ya. sepertinya sudah kadaluarsa. hahahaha.

ya, ya, ya, sesukamu. lagipula aku tidak mengerti. hahahaha.
ini, silakan.

terimakasih. lalu, kapan kakakmu itu akan membangun rumahnya?

entahlah, kurasa masih lama. aku inginnya segera. jadi agak tidak nyaman bersinggungan dengan istrinya. haaaahh...entahlah.

memangnya istrinya kenapa? cemburu padamu? hihihihi.

cemburu iya, tapi jelas bukan padaku. dan menurutku, orang sopan-santun berbahasa itu seharusnya tidak sulit melakukannya. walaupun aku juga benci dengan semacam basa-basi, tapi kalau memang itu berguna dan bernilai rasa terimakasih kenapa tidak?! lagipula hanya bicara saja!

kamu benar-benar sedang capek ya, daritadi suaramu meninggi terus. nikmati kopinya, merokok juga biar lebih tenang.

bayangkan saja cucian kotor sebanyak dua ember besar. tentu saja capek! aku tidak tahu, akhir-akhir ini aku sering tertekan oleh segala masalah dalam rumah. entahlah, aku hanya merasa empati pada mama. kadang memikirkan itu semua langsung mendorong tenggorokanku untuk bertekanan lebih. oohh...aku harus bagaimana....

hey, jika saja saudara-saudara bapakmu itu tidak datang menjenguk, membuatnya menangis dan semakin memberatkan mama hingga mama ikut menangis. itu bukanlah tanggung jawabmu. semua kebaikan mama pada siapapun dan membuat kakak tirimu kini tinggal di rumah yang istrinya ternyata cukup membuatmu tak nyaman adalah bukan resikomu. itu adalah bagian yang harus kamu jalani sebagai anak mama. aku mengerti kamu. memang kamu itu sangat mirip mamamu. hehehe, sedikit lucu juga sih. terlalu banyak mengkhawatirkan orang tapi jadi berantai.

maksudmu?

ya, mama menangis karena bapak, mama baik hati dan kelanjutannya menimpamu, kau kesal karena sesuatu yang membuat mamamu menangis tapi kebingungan akan sosok yang bisa disalahkan. kau mencuci badanmu lelah dan ketika mencuci kau bersinggungan dengan istri kakak tirimu yang sikapnya menambah perasaan campur adukmu itu semakin tak tentu.

kau tidak membuat perasaanku membaik tahu!

aku tahu, setidaknya aku membantumu. dan sepertinya kita harus mengangkat semua cucianmu kembali.
hujan sudah turun, bukan lagi gerimis.

....
....
.....

Rabu, 15 Januari 2014

Tentang Ruang


Tentang ruang, sungguh berbeda rasanya jika tanpa kehadiran seseorang. Siapapun di dalamnya, pada ruang seperti memberi ruh, jiwa, atau warna dan bahkan kehangatan yang berbeda-beda. Aku banyak mengunjungi ruang. Beberapa di antaranya seperti manusia sendiri. Memiliki identitas yang berbeda, rasa yang tidak sama.

Rumahku, dengan segala kesejukan di dalamnya, bahkan kadang terlalu sejuk hingga menimbulkan kelembaban. Pembawaan ibuku yang mendominasi ruang itu menjadikan rumah terasa nyaman untuk bersantai, terkadang ramah, namun tidak pernah mengenai batas hangat. Tidak pernah ada api-api kecil dari secangkir kopi saat duduk bersama. Hanya di ambang saja.

Tobucil, sebuah ruang yang menaungi dan berbasis komunitas. Dengan prinsip pendirinya, rasanya kemandirian sangatlah kuat kurasakan di sana. Perasaan hangat juga tidak kalah mendominasi. Motivasi-motivasi dan celah-celah sisi pandang optimistis memenuhi sela-sela buku dan berbagai macam barang lain di dalamnya. Dengan beranda sederhana, robusta dan tanaman merambat.

Siliwangi, ah siliwangi. Dia seperti ibu dari Venesia yang penuh cinta. Dipenuhi senja yang mengakar pada lekuk jendela. Batas daun pintu adalah dunia yang asing. Di dalam adalah kandungan dari segala keromantisan. Ah...siliwangi.

Lalu hadir ruang yang kini, dua jendela dengan halaman. Dindingnya hijau bernuansa netral namun muram. Rasanya, ruang ini tidak pernah diam. Aku tidak pernah merasakan perasaan yang stagnan di sini. Seperti musim di negeri sana yang memiliki empat macam. Pun di sini. Ruang ini memiliki musimnya sendiri yang entah berapa macam dengan periode tak menentu. Hangat dan sejuk bergiliran datang dalam hitungan jam. Tenang, dan nyaman selalu mampir ketika malam. Seperti sosok ayah impian, atau pemuda penuh kasih yang cantik. Coklat muda atau oranye tua. Penuh percaya dan keyakinan. Sesekali gersang berbau peluh keringat, sesekali membara menyemangati emosi hati. Suatu siang layaknya laut mati, terasa sangat luas namun tidak berombak, tidak berarus, tidak berangin, airnya pun tak beriak.

Namun ruang sangatlah bergantung pada manusianya. Identitas yang dibawa ruang tidak bisa menetap. Identitas yang mempresentasikan para penghuninya. Membawa aura dan perasaan halus manusia. Mereka akan hilang dibawa manusia.

Ruang dengan dua jendela dan halaman, aku tidak percaya kau membawa perasaan tak aman padaku. Layaknya gesekan biola yang licik, kau samarkan hawa di balik punggunggku. Ketika malam memang menjadi pilihanku bekerja, kau selinapi curiga-curiga. Tidak ada tenang, tidak ada nyaman, hanya kewas-wasan. Siang datang kau sajikan kekosongan. Tidak ada manis, asin, asam, hanya tawar yang hambar.
Kukerjakan apa yang harus kukerjakan. Aku tahu, ruang ini bukan milikku.

Aku rindu manusia yang membawa identitas ruang dengan dua jendela dan halaman ini.

Senin, 06 Januari 2014

Tindak-Tanduk sang Rupa yang Maya


di antara lengang dengung nyamuk yang menggerayangi telinga ada sesuatu tergenang

entah benda entah harta entah sang masa
melayang memelintir ubun-ubun kepala dan mengosongkan pupil mata
entah apa.. entah apa.. tak tahu yang mana.

kerumasaan harapan pada masa yang nanti kan tiba melenakan
bisa terbang sampai kemana saja
sampai kaya sampai punya segala sampai segala ingin telah terlaksana
sang dengung nyamuk kembali menyedot semua

kaki berpindah kau selimuti tubuhmu nan kurus
menutup mata lari dari bunyi-bunyi yang membuyarkan isi kepala
datanglah pekerjaan, kesuksesan, kemudahan, dan keharmonisan percintaan
berlari berlompatan dan tak presisi

kau lelah
kau lelah
pikiran yang berlompatan semakin membuat terjaga
kau lelah
tidak terbang tidak pula jatuh

tidak..kau terlalu takut
takut untuk membelalakkan mata
untuk melihat segala yang nyata.

Minggu, 17 November 2013

Diam yang Menjadi Perantara

Memasuki usia dua puluh lima, aku bertekad ingin memiliki tempat tinggalku sendiri. Walaupun tidak langsung membeli sebuah rumah, aku akan memulainya dengan mengontrak sebuah kos-kosan. Tidak begitu luas, hanya sebentuk ruangan berukuran tiga meter kali dua juga cukup. Bukan sebuah kebebasan yang aku utamakan. Hanya saja, semakin aku dewasa, semakin sering pemikiranku bertabrakan dengan konsep yang dianut ibu.

Sebenarnya aku mengerti, ibu hanya ingin menjalani kodratnya sebagai orang tua yang mewakili dua peran sekaligus. Berhubung ‘ayah’ adalah sosok yang tidak aku kenal. Keputusannya menjadi kepala keluarga sekaligus ibu rumah tangga aku yakin tidak mudah. Sebagai perempuan aku cukup mengerti perasaannya. Hanya sikapnya yang selalu menyalahkan diri sendiri ketika perbuatan anaknya dirasa tidak benar itulah yang tidak akan pernah aku terima.

Ibu adalah perempuan yang taat beragama. Dia tahu, dosa-dosa anaknya tidak akan menimpa pada dirinya jika anak-anaknya sudah baligh menurut sunnah. Dia pun tahu, bagaimana kewajiban yang harus dilakukan pada anaknya dalam hal mendidik, menggurui, mengarahkan pada nilai-nilai kebaikan, apalagi menekankan kewajiban beragama. Kedalaman pengetahuannya terhadap agama itulah yang menurutku memberatkan perasaannya.

Aku tahu, jika aku dilahirkan dari ibu yang beragama A maka akupun akan menganut A, jika ibu beragama B pastilah aku akan menjadi warga negara beragama B, begitupun seterusnya. Tetapi tidak bisakah ibu melonggarkan pandangan dan memperluas pikiran? Aku tidak ingin mengganggu ketaatannya pada nilai-nilai agama yang ia percayai, hanya saja, tidak bisakah ia melihat hal-hal di luar pagar-pagar agamanya? Aku tidak meminta untuk mengerti, cukup dapat melihat dan menghargai apa yang ada di luar itu saja sudah sangat cukup.

Bagiku, agama adalah sesuatu yang berat. Butuh keyakinan yang kuat. Aku sudah percaya agama apapun di dunia ini adalah mengarah pada kebaikan. Tetapi untuk dapat menjadi penganut yang taat tidaklah mudah. Tuntutan dan bawaan lahir dari seorang ibu yang membawaku tidaklah cukup. Bukan itu yang menjadikan seseorang taat pada agamanya. Dan ibu tidak bisa melihat itu.

Aku bisa memahami, mengapa setiap pagi ibu selalu bersuara keras penuh tekanan emosi. Aku juga tahu, mengapa ibu tak pernah berhenti menceramahi di saat-saat ia bisa mendapatkan peluang untuk berbicara denganku. Aku paham. Ia hanya ingin menjalani perannya dengan baik dan melaksanakan kewajibannya sebagai orang tua. Tetapi tidakkah ia tahu, bahwa segala macam pelajaran dalam hidup yang telah ditularkannya padaku sedari kecil hanyalah menjadi sebuah modal untukku. Tidakkah ia sadar, bahwa dirinya pun memiliki konsepsivitas hidupnya berdasarkan pengalaman hidup selama ia beranjak dewasa. Aku pun begitu ibu. Semua hal yang ibu berikan padaku tidaklah sia-sia, namun aku pun tumbuh dewasa ibu. Partikel-partikel keseharian dan pengalaman hidupku tidaklah sama persis seperti punyamu.

Jika saja ibu bisa melihatku sebagai seorang individu utuh, ibu tidak perlu merasa bahwa segala hal yang aku lakukan dan tidak dapat ibu terima itu tidaklah menjadikan alasan untuk perasaan bersalah. Dalam nilai agamamu, seharusnya ibu tahu bahwa aku bukan lagi tanggungan buku dosamu. Aku sudah memiliki buku dosaku sendiri ibu. Apa yang aku lakukan tidak akan menyeretmu nanti dalam kehidupan setelah dunia yang ini. Dan ibu akan tahu cara yang lain untuk memberikan saran ataupun menjalankan peranmu padaku selain ceramah, atau keluh kesah. Ibu akan paham jalan dalam melaksanankan kewajibanmu yang akan bisa diterima olehku. Dan ibu akan bisa menghargai sikapku.

Sebagai anak perempuan pertamamu, aku bukanlah tidak ingin berbakti. Tentu saja aku paham kodratku sebagai seorang anak. Banyak sekali keinginan-keinginan yang harus kulakukan demi ibu. Tetapi bukan dalam sebuah kebohongan atau kepura-puraan. Aku pun ingin membahagiakanmu. Bagaimanapun cara yang bisa aku lakukan akan kulakukan. Aku tidak menghalangimu dalam hubungan asmaramu yang kompleks, kukerjakan tugas-tugas kuliahmu sebagai bentuk dukunganku pada perkembangan karirmu yang hanya terpaku pada mengajar, kulakukan pekerjaan rumah tangga yang aku bisa. Aku tahu, semua itu tidak sebanding dengan segalanya yang kau lakukan untukku semenjak lahir. Hanya saja, aku tidak mau kalau aku harus berbakti padamu dengan menjadi orang yang taat beragama namun hanya pura-pura. Walaupun aku tahu, hal itu adalah yang paling kau inginkan. Aku tidak bisa ibu. Bagaimanapun hal-hal baik jika berlandaskan pada kebohongan tidaklah akan bertahan.

Aku bukan tidak mau menjadi orang yang taat beragama. Bukan. Hal yang aku tekankan bukanlah itu ibu. Aku hanya ingin kau bisa melihat, bahwa butuh proses yang cukup alot dalam diriku untuk menjadi umat yang shaleh. Kasih sayang dan tuntutan dalam amarahmu tidak akan bisa menjadi landasan bagiku. Aku bukanlah bocah ingusan bu.
Setiap kali kau keluarkan emosimu dan menceramahiku, aku hanya bisa diam. Bukan aku takut, aku hanya menghormati presepsimu. Presepsi yang selalu kau samakan dengan jaman dulu. Aku bukan tidak bisa berkata-kata, hanya saja jika aku timpali perkataanmu ibu pasti akan tersinggung dan merendahkan sikapmu, masih dalam emosi. Karena aku adalah seorang anak dimatamu, bukan seorang pribadi dewasa yang tumbuh.

Aku masih manusia yang biasa ibu, aku juga bisa tersinggung oleh kata-katamu. Kadang-kadang batas diamku tidak bisa menahan pembelaan diri. Aku juga punya hak untuk membela nilai-nilaiku sendiri ibu. Tetapi aku tahu hal itu tidak akan pernah bisa bekerja dengan baik. Setiap kali aku menimpali ucapanmu itu tidak akan berakhir menjadi sebuah diskusi. Aku akan memilih diam kembali. Aku masih menghormatimu. Dan lagi, aku hanya bisa memilih diam. Hanya itu satu-satunya jalan kita bisa cair kembali. Seolah-olah tidak ada perdebatan sengit yang baru saja terjadi. Tidak apalah, bagaimanapun aku ingin hubungan baik denganmu. Aku bisa menerima kekurangan ibu.


Jika aku ingin memiliki tempat tinggalku sendiri, itu bukan salahmu bu. Aku hanya butuh ruang yang bisa kujadikan rumah bagiku. Tempat di mana aku bisa menanamkan nilai-nilaiku sendiri. Karena aku tidak tahu, sampai kapan diam akan menjadi cara untuk menghadapimu. Karena pun aku tahu, aku selalu menyayangimu ibu.

Selasa, 05 November 2013

sesuatu yang bisu

Ini bukan mimpi di tengah hari yang melenakan, atau mimpi buruk tengah malam yang menegangkan. Ini seperti botol bir yang selalu bewarna hijau tua dan keruh. Hanya bias saja apa yang bisa terlihat di dalamnya.
Kilat-kilat peristiwa yang rupa-rupa belum lagi tersulut oleh api menjadi asap yang kadang muncul menghalangi pandangan dan mengganggu pernapasan. Tubuh sudah sibuk menghadapi pengap oleh emosinya sendiri. Seperti warna, jika semuanya bercampur, hanya akan ada hitam. Tidak ada jalan. Tidak ada suara sayup-sayup yang terdengar. Tidak ada keringat yang mengaliri pori. Tidak ada wangi tanah yang basah di sore hari. Tak pula aroma dan rasa manis tembakau tersisa di bibir.

Ini bukanlah kehilangan, ini seperti bentuk pertahanan diri yang memperjuangkan sesuatu yang tak ingin hilang. Ini bukanlah sebuah kesudahan, bukan juga ketertundaan, ini seperti sesuatu di antara benar dan salah. Bukan bertolak dari rasa sakit. Bukan pula sebuah kemurtadan.

Disadari atau tidak, sebuah keterikatan yang selalu berkembang mengikuti lingkar-lingkar di luar garis tak lagi menjaga bentuknya. Melainkan mengatur bentuknya. Walaupun ada pembenaran, kadang terasa salah. Seperti terus mendorong untuk melangkah, namun dengan kaki yang terikat. Sepanjang apa tali yang mengikat, kita tidak pernah tahu. Karena sesuatu yang punya andil mengubah bentuknya selalu menarik-ulur talinya. Kita tidak pernah tahu kapan kita akan tersandung, terjerembab, menabrak tanah. Yang kita tahu hanyalah ketika kita terjatuh ternyata kita masih ada di tempat yang sama. Walaupun melangkah, namun tak pernah maju.

Kita selalu berjalan bersebrangan. Hal kecil adalah hal yang besar. Sesuatu yang sederhana samadengan sesuatu yang rumit. Rasa yang tawar tidak sepadan dengan rasa yang berbumbu. Aku ingin memotong talinya dan kita jalan bersama, kamu bersikeras memaksa menarik talinya dan kita berlari. Kamu memaksa aku mengalah, aku menentang kamu putus asa.


Aku ingin mengembalikan semua seperti semula. Tak ada tekanan, tak ada aturan yang saling memberatkan. Hanya berjalan, keterikatan yang dijaga tetap di luar garis lingkaran. Namun kita tahu, kita selalu bersebrangan. Bagimu, aku menjadi musim yang murtad, cuaca yang ingkar. Bagiku..ah, kita tahu, kita selalu bersebrangan....

Jumat, 20 September 2013

Sebut saja Keanehan Sederhana

Mungkin ini agak aneh. Setelah cukup lama memiliki notebook sendiri, saya baru ingin menulis hari ini. Ya, Kamis, 19 September 2013. Tidak ada hal penting atau amanat yang dalam luar biasa seperti pada tulisan orang-orang besar. Tidak, manusia macam saya hanyalah manusia pengisi kekosongan sistem alam. Saya hanya ingin menulis karena ada kopi di samping saya dan semacam perasaan yang baru saat ini membuat saya tidak hampa dalam menghadapi keseharian saya.

Menurutku manusiawi apabila seseorang tidak puas dengan kehidupan miliknya dan mulai menghayalkan kehidupan yang diinginkan. Setidaknya dengan begitu ada perasaan menghibur diri sendiri. Saya sering melakukannya. Membayangkan bisa dengan mudah menerima beasiswa S2 di Jepang, pulang ke tanah air dengan bangga dan langsung mendapat pekerjaan yang sangat mengasikkan, tentunya dengan bayaran yang memuaskan. Memiliki tempat tinggal sendiri, membahagiakan ibu, memanjakan kucingku dengan royal, membeli segala macam benda-benda yang tidak terbeli dalam keadaan sebenarnya. Terus menerus bervariasi dan segalanya hanya khayalan belaka.

Keseharian yang saya alami sebenarnya biasa saja. Memiliki ibu yang cukup pengertian, rumah yang tidak berlebihan, kekasih yang luar biasa, kucing yang tidak rewel, kuliah tidak terlalu berantakan, ya segalanya biasa-biasa saja. Hanya saja perasaan tidak puas kadang muncul saat-saat keseharian yang biasa itu mulai terhalangi oleh beberapa partikel dalam hidup. Uang, norma masyarakat, ketergantungan, umur, status sosial, dan mungkin pekerjaan. Di saat-saat seperti itulah khayalan-khayalan yang terlalu mengawang muncul. Mencoba untuk menghibur dan menyemangati diri. Yah, tetapi tak segampang itu.

Melayang dan terbang tinggi mungkin menyenangkan, merasa ringan dan serba leluasa. Tetapi terjatuh? Tertabrak? Terhempas? Saya rasa tidak akan menyenangkan. Tidak ada orang yang menyalahkan orang lain yang menghayal bukan? Hal itu adalah hak semua orang terlepas dari apapun yang dihayalkannya. Apalagi, menghayal dapat menghibur seseorang. Namun yah, seperti pepatah bilang; segalanya yang berlebihan tidak baik. Saya mulai tersindir para pepatah itu.

Khayalan-khayalan semacam kehidupan yang mapan yang saya hayalkan selalu mendetail. Bagaimanapun saya selalu berusaha mencocokkan beberapa bagian dalam khayalan saya dengan bagian aslinya dalam kenyataan. Saya selalu membayangkan memiliki rumah minimalis semi modern. Sebelum menghayalkan bagaimana saya memasak, menonton tv, mandi, dan lain-lain, saya selalu mencari terlebih dahulu bagaimana denahnya, furniturnya, bentuknya. Begitu ada yang cocok, langsung saya camkan dalam pikiran saya sambil memejamkan mata. Sama halnya dengan mobil khayalan. Bagaimana interior dalamnya, warna catnya, merek apa, dan hal-hal lainnya.

Pada mulanya memang saya menghayal hanya saat sedang mengalami benturan-benturan dalam keseharian saya yang sederhana. Lalu semakin lama, saya melakukannya lebih sering dari biasanya. Sebelum tidur, sehabis menonton film, siang hari ketika tak ingin melakukan sesuatu, saat menunggu, bahkan saat di toilet pun saya menghayal. Semakin sering saya menghayal, semakin sering pula saya merasa tidak lagi terhibur. Saya sudah berlebihan.
Perasaan bahagia dengan memiliki kehidupan idaman dalam khayalan hanya membawa perasaan muak pada kehidupan sebenarnya. Saya jadi mudah kesal, sering mengutuki keadaan, tidak puas, tak punya keinginan melakukan apapun, menjalankan keseharian yang ada dengan mengalir saja mengikuti arus seperti ikan mati. Di saat saya butuh sesuatu, seringkali saya menghindar dengan menghayal, bukan berusaha melakukan sesuatu untuk bisa memenuhi kebutuhan itu. Tidak selesai, pun tidak membawa apa-apa. Saya merasa hampa.

Cukup lama saya hanya pasrah dengan perasaan hampa yang kadang-kadang menyelimuti saya. Mau bagaimana lagi, menghayal sudah menjadi bagian dari kebiasaan yang saya lakukan. Saya tak bisa langsung menghilangkan itu dengan cepat. Tetapi bukan berarti tak ada keinginan untuk keluar dari itu semua. Walaupun saya adalah manusia yang biasa saja, dan saya pun mensyukurinya, bukan berarti saya tidak suka bergerak. Dalam artian, tetap diam pada satu titik kehidupan sosial tanpa kemajuan, tidak ada perkembangan diri yang berarti, sedangkan saya dikelilingi oleh orang-orang yang menjalani kehidupan mereka dengan ringan dan memiliki tujuan. Saya sadar itu, namun saya belum tahu apa yang harus saya lakukan.

Lalu munculah keinginan-keinginan. Sesuatu hal yang bisa membuatku dengan mudah kembali berkhayal. Haaaaaahh...saya tidak mau terus-menerus mengutuki keadaan! Ingin rasanya mengacak-ngacak isi kepala. Pada akhirnya saya hanya menghindari kegiatan yang biasanya saya lakukan untuk menghindar dari keadaan. Tidak melakukan sesuatu, tapi juga tidak berkhayal.
Mungkin kata dan perasaan dalam bentuk ‘cinta’ yang membawa langkah awal pada apa yang sedang saya alami. Walaupun mungkin terlalu romantis dan terkesan sesuatu yang kebanyakan, tapi ya memang begitu adanya. Datangnya dari cerita-cerita yang disampaikan kekasih saya. Cerita yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan diri saya sebenarnya. Tetapi bisa membimbing dan menggurui saya secara tidak langsung. Awalnya saya hanya menganggapnya sebagai cerita yang harus saya tahu karena itu adalah masa kecil kekasihku. Kemudian ketika saya sadar bahwa saya juga memiliki rasa cinta yang hampir sama dengan cerita-cerita dari kekasihku, munculah rasa malu. Malu bahwa saya hanya bisa menghindar. Malu karena saya enggan memiliki tujuan. Malu atas ketakacuhan saya yang mengaku ‘cinta’ tanpa memiliki kemauan.

Biasanya, benturan-benturan yang mengarahkan saya untuk berkhayal lebih sering karena masalah uang. Maka, saya memulainya dari situ. Saya mulai mempersempit alasan-alasan mengapa saya dengan mudahnya langsung menghayal setiap kali berbenturan dengan uang. Lalu mulai mencari alternatif-alternatif lain yang membuat saya mempertahankan tujuan saya (keinginan yang muncul). Kemudian mulai menyelesaikan satu per satu pekerjaan yang tertunda dahulu.

Sebenarnya, ada perasaan sedikit terkejut ketika saya telah menyelesaikan salah satu kerjaan yang tertunda. Setelah selesai, saya bukannya lega, aneh..saya malah seperti disemangati, diberi energi lebih, dan merasa berapi-api untuk melakukan penyelesaian terhadap hal-hal yang lainnya. Dan anehnya lagi, saya bisa tetap memelihara keinginan saya dalam hati. Tidak membiarkannya hilang dan terlupakan begitu saja seperti sebelumnya. Saya tidak mau menyerah dulu. Keinginan-keinginan itu menjadi tujuan saya yang ternyata bisa mengikis perasaan hampa.

Kini, saya hanya butuh sabar, dan bergerak sedikit demi sedikit menyelesaikan tujuan dalam hati saya. Walaupun kadang, pikiran saya selalu mencuri-curi khayalan ketika mata terpejam.