Rabu, 25 Januari 2012

Di Antara Tiga Dini Hari


Dari sekian rintik hujan yang mencarimu, sebagian jatuh di atas kepalaku.
Mematahkan ranting dan dedaunan rapuh, berjatuhan di depan jendelaku.

Lagi-lagi aku terbangun dini hari, sudah lebih dari tiga hari ini aku terbangun setelah mimpi yang sama berturut-turut. Dalam mimpi, aku merindukan seorang laki-laki yang bahkan namanya tak kuketahui. Rindu yang amat menggebu, menggenggam isi kepalaku. Belum genap lima jam aku tidur, mata kupejamkan kembali namun sulit. Selalu begitu, aku tak mengerti mengapa mimpi yang sangat tidak jelas itu bisa mengganggu. Padahal, aku sedang tidak rindu pada siapapun.

Air kujerang untuk secangkir kopi, kusulut sebatang rokok. Air matang, kopi pun terhidang, kunyalakan komputer dan menuliskan mimpiku. Selalu dimulai dari adegan yang sama, sebuah ruang yang bercat putih, ada meja dan satu kursi di salah satu sudutnya, di sebelah kiri terdapat jendela dengan bingkai yang cukup besar. Aku terduduk menggenggam sesuatu yang aku sendiri tidak tahu, wajahku cemas atau gelisah, lalu aku berdiri menuju jendela dan terdiam mengamati sesuatu di luar sana. Tak berapa lama, hujan turun. Pada saat itu  dedauan berjatuhan, sesosok laki-laki hadir memunggungiku. Tubuhnya tegap namun agak kabur karena rintik yang padat. Bersamaan dengan itulah aku selalu terbangun. Dan ketika melihat jam tanganku, waktu selalu menunjuk pada angka tiga.

Beberapa hari yang lalu aku menemui teman dekatku. Aku menceritakan mimpi itu dengan nada agak bercanda karena baru dua malam aku mengalaminya. Temanku bilang mungkin tanpa sadar aku merindukan seseorang, bekas kekasihku barangkali. Aku jelas langsung menyangkalnya, karena aku merasa rindu dalam mimpi itu lebih dalam. Aku tak pernah merasa begitu pada kekasih-kekasihku yang dulu. Bahkan terhadap peristiwa atau teman-teman masa kecilku pun aku tak pernah merasakan rindu yang seperti itu. Lalu kuabaikan, toh mungkin hanya kebetulan.

Dua malam berikutnya aku tak dapat menganggap itu semua kebetulan. Kebetulan tak mungkin terjadi dalam empat hari, paling hanya sesekali. Aku mulai resah, hanya karena mimpi yang tak jelas jam tidurku jadi terganggu. Dan sialnya aku tak pernah bisa tidur lagi setelah itu.

Kopi tandas, kunyalakan music player dari komputerku. Badan kurebahkan sambil berpikir ulang mengenai sosok laki-laki dalam mimpi itu. Aku tak bisa dengan jelas mengingatnya, hanya bahu yang agak lebar dengan mengenakan kemeja (entah jaket) hitam dilipat hingga siku saja yang jelas terlihat. Rambut, tinggi badan, dan gaya berdirinya tak jelas semua. Sial, aku tak tahu apa yang harus kulakukan.
Dari ribuan jejak yang kau tanggalkan, sebagian kerikilnya masuk dalam sepatuku.
Menggaris jarak dengan enggan, melukai telapak kakiku.
Malam ini aku berencana tidak tidur. Setelah berpikir matang-matang, aku tak mau dicemaskan dan dirugikan oleh sesuatu yang tidak jelas. Lebih baik aku tidur setelah pukul tiga saja agar aku tidak bermimpi hal itu lagi. Aku menjaga diriku agar tidak terlelap dengan menonton televisi, saat acara tak ada yang menarik aku membaca buku. Akan tetapi membaca membuatku lelah mata, aku tak mau saat aku mengistirahatkan mataku aku jatuh tertidur. Kuputuskan untuk browsing saja, banyak hal menarik yang bisa aku lakukan di dunia maya. Setelah buka website di sana-sini jarum jam menunjuk pada angka tiga. Ah, akhirnya aku bisa beristirahat. Selamat tidur diriku!

Rintik-rintik hujan yang bersentuhan dengan tanah menyerbuku, bunyi tetes-tetes airnya berdengung di telinga. Aku kuyup, yang terlihat hanya kakiku yang telanjang di atas kerikil basah. Saat kudongakkan kepala, aku melihat laki-laki itu. Kali ini dia tidak memunggungiku, melainkan duduk berteduh di bawah pohon, kepalanya bersandar, wajahnya masih tetap samar. Aku merasa sangat rindu! Di antara gigil aku mencoba mendekatinya, namun aku tak berani bergerak sedikitpun. Sedikit saja kakiku hendak mengambil langkah rasa enggan langsung menyeruak menguasai punggunggku. Aku terpaku. Pada akhirnya, aku hanya melihat kakiku sendiri.

Selusup sinar matahari membuatku terjaga. Saat mataku terbuka yang pertama kulakukan adalah memastikan tubuhku tidak basah. Mimpi itu begitu nyata terasa. Sialaaaan! Kubungkam wajahku dengan bantal dan berteriak sekeras-kerasnya.

Di sebuah toko buku alternatif aku menunggu. Masih lima belas menit lagi menjelang waktu bertemu dengan teman dekatku. Secangkir kopi ternyata tak cukup kuat menenangkan diri akibat mimpi tadi pagi. Setelah bangun aku menelepon teman dekatku, diapun mulai cemas dengan yang terjadi pada diriku. “temanku lulusan psikologi, nanti aku kenalkan padamu ya. Semoga itu bisa membantu.” Ucapnya.

Dia dan temannya datang. Mereka turut memesan kopi. Aku menyebutkan namaku dia menyebutkan namanya, kami bersalaman. Setelah menceritakan mimpi yang telah kualami dia sempat terdiam, seperti memikirkan sesuatu. Kemudian dia bertanya mungkinkah aku pernah memiliki hasrat pada laki-laki namun tak kesampaian? Aku menggelengkan kepala. Mungkinkah aku pernah bertemu seseorang yang istimewa tetapi aku lupa lalu secara tak sadar tubuhku merindukannya? Apa? Rasanya aku tak pernah bertemu seseorang sampai begitu. Merekapun pamit. Pertemuan itu nihil. Nasihat-nasihat yang dia berikan rasanya tak berguna.

Sebelum pulang aku membeli beberapa buku dan membacanya sedikit. Tak berapa lama beberapa orang hadir, menjelang sore ada diskusi filsafat keseharian yang digelar toko buku tersebut. Kuputuskan untuk ikut diskusi, siapa tahu aku bisa melupakan kegelisahanku. Tema kali itu adalah mimpi. Ah, kebetulan sekali, aku sedang bermasalah dengan mimpi dan orang-orang ini akan membahasnya.

Diskusi dimulai dari arti mimpi itu sendiri. Semua yang hadir menceritakan pengalamannya dengan mimpi, termasuk aku. Kemudian beralih pada lucid dreaming, di mana sang pemimpi menyadari bahwa itu mimpi dan kemudian mengatur mimpinya sesuai dengan keinginan yang menyambung pada astral project. Sebuah perjalanan demi menemukan kesadaran pada ruh, pada jiwa, pada sesuatu yang metafisis.

“halo, maaf saya terlambat.”

Diskusi disela seorang laki-laki kurus berambut gondrong. Dia membawa ransel dan berjaket tebal, penampilan khas seseorang yang membawa motor. Orang-orang menyapanya, sepertinya dia rajin hadir diskusi. Dia memesan kopi lalu duduk tepat disebelahku. Tidak ada yang istimewa pada dirinya hingga dia membuka jaketnya. Laki-laki itu memakai kemeja hitam lengan panjang yang digulung hingga siku. Aku terperangah, dadaku berdebar, dudukku jadi tak nyaman. Kenapa aku merasa gelisah? Saat kopi pesanannya tiba dia berdiri menyambut sang kopi tepat dihadapanku. Dadaku semakin berdebar.

Apa? Ada apa ini? Kenapa tubuhku begini?

Dia meletakkan kopinya dan menyulut rokok. Dengan tangan terulur dia menyebutkan nama. “Zahri.” Dia tersenyum. Aku menyambut uluran tangannya dan menyebutkan namaku dengan gagu. Dia bertanya tentang proses diskusi padaku. Aku menjawab masih dengan dada yang berdebar. Setelah mendengar jawabanku dia larut dalam diskusi dengan santai, tapi tidak denganku. Aku bingung oleh tubuhku sendiri. Gemetar di dadaku kini turun ke lutut. Sialan!

Diskusi selesai disertai tepuk tangan, ketika aku hendak beranjak dia menghentikan gerakku dengan pertanyaannya. Saat diskusi tadi aku sempat menceritakan mimpi sama yang kualami, namun dia belum hadir sehingga dia bertanya padaku. Aku salah tingkah. Tak tahu harus menjawab apa. Melihat wajahnya yang menunggu jawaban membuatku bercerita pada akhirnya. Dia terpana, mimiknya sedikit kaget, lalu tersenyum. Aku tak paham maksud dari senyumannya. Walaupun sedikit kaku, obrolan ringan antara aku dengan dia mengalir setelahnya.

Ada yang berbeda dari malam ini. Biasanya aku tak pernah bisa terjaga lebih dari jam 12 malam jika tidak minum kopi. Namun kali ini mataku tak kunjung memejam walau sudah dini hari, tanpa kopi. Wajah laki-laki tadi mengganggu pikiranku. Mengapa saat dia membuka jaketnya aku merasa berdebar? Mungkinkah karena dia mirip dengan laki-laki dari mimpiku? Jika memang dia, mengapa harus  seseorang yang baru saja kukenal? Sedangkan dalam mimpi aku begitu rindu padanya. Ah, aku benar-benar bingung.
Dari sekian ribu kata yang jatuh dari mulutmu, sebagian menempeli telingaku.
Mengalir bersama darah, menggerayangi tubuh yang kaku.
Menjelang sore hari aku terbangun dengan linglung. Aku tak bermimpi. Bukan perasaan lega yang mampir, tetapi sebaliknya. Aku mulai mengharapkan jawaban dari mimpi atas bingung yang kualami. Kemarin dia sempat berkata padaku sesaat sebelum aku pulang “mungkin saja jauh di dalam dirimu, kamu sedang mencari seseorang yang kamu harapkan. Tanpa pernah kamu sadari itu, tubuh dan alam bawah sadarmu tetap mencari dan sudah menemukannya.” Kalimatnya membuatku terganggu, benarkah aku sedang mencari seseorang? Siapa dan untuk apa? Mungkinkah sebagai kekasih? Ah, kekasih…sudah lebih dari satu tahun aku tak berkekasih. Cukup banyak aku menjalin komitmen dengan laki-laki, namun tak pernah berlangsung lama. Kebanyakan dari mereka tak bisa menerima jalan pikiranku. Jika memang iya tubuhku mencari, aku bisa dengan mudah mendeskripsikan bagaimana laki-laki yang memang kubutuhkan namun aku tak pernah melihat laki-laki yang begitu. Bagaimana bisa alam bawah sadarku menemukannya?

Aku mendatangi kembali tempat pertemuan kami kemarin. Karena kata-katanya, aku berharap bisa bertemu lagi dan bertanya lebih jauh tentang itu. Ternyata sore ini tak ada diskusi, tetapi pameran kelas foto, ketika aku datang aku mengisi buku tamu. Kolom nama, nomor telepon, dan e-mail pun kuisi dan flyer acara kuambil. Kurang lebih dua jam aku mengikuti pameran tersebut. Aku tak kunjung melihatnya, mungkin dia hadir hanya saat diskusi filsafat saja. Kuputuskan untuk pulang.

Badan kurebahkan, malam belum menginjak larut namun kuputuskan untuk tidur. Biarkan saja aku diselimuti resah, namun setidaknya aku bisa kabur sejenak dari perasaan itu dengan tidur. Toh malam kemarin aku sudah tidak bermimpi.

Sinar matahari lembut terasa di wajahku, aku melihat kaki yang telanjang, ah, ini kakiku. Kudongakkan kepala dan melihat sebuah bangunan mungil putih dengan satu bingkai jendela besar dan pintu yang terbuka. Suara ranting patah yang terinjak dibelakangku membuatku berpaling. Di sana berdiri laki-laki itu, laki-laki dengan kemeja hitam lengan panjang yang dilipat sesiku. Laki-laki yang selalu dirindukan olehku. Kali ini aku bisa melihatnya tanpa samar. Wajahnya, rambutnya, badannya. Dia tersenyum padaku. Oh tuhan!

Aku terkejut dan seketika terbangun. Dadaku berdebar lebih kencang, badanku gemetar. Oh tuhan, aku bermimpi kembali. Kali ini semua dapat jelas kulihat! Telepon berdering tiba-tiba, saat kulihat jam di tangan jarum menunjukkan pukul tiga. Telepon kuambil dengan ragu. Siapa yang meneleponku dini hari begini? Nomornya tak kukenal. Tombol hijau kutekan.

“halo?”
“hai, ini Zahri…”

***