Minggu, 17 November 2013

Diam yang Menjadi Perantara

Memasuki usia dua puluh lima, aku bertekad ingin memiliki tempat tinggalku sendiri. Walaupun tidak langsung membeli sebuah rumah, aku akan memulainya dengan mengontrak sebuah kos-kosan. Tidak begitu luas, hanya sebentuk ruangan berukuran tiga meter kali dua juga cukup. Bukan sebuah kebebasan yang aku utamakan. Hanya saja, semakin aku dewasa, semakin sering pemikiranku bertabrakan dengan konsep yang dianut ibu.

Sebenarnya aku mengerti, ibu hanya ingin menjalani kodratnya sebagai orang tua yang mewakili dua peran sekaligus. Berhubung ‘ayah’ adalah sosok yang tidak aku kenal. Keputusannya menjadi kepala keluarga sekaligus ibu rumah tangga aku yakin tidak mudah. Sebagai perempuan aku cukup mengerti perasaannya. Hanya sikapnya yang selalu menyalahkan diri sendiri ketika perbuatan anaknya dirasa tidak benar itulah yang tidak akan pernah aku terima.

Ibu adalah perempuan yang taat beragama. Dia tahu, dosa-dosa anaknya tidak akan menimpa pada dirinya jika anak-anaknya sudah baligh menurut sunnah. Dia pun tahu, bagaimana kewajiban yang harus dilakukan pada anaknya dalam hal mendidik, menggurui, mengarahkan pada nilai-nilai kebaikan, apalagi menekankan kewajiban beragama. Kedalaman pengetahuannya terhadap agama itulah yang menurutku memberatkan perasaannya.

Aku tahu, jika aku dilahirkan dari ibu yang beragama A maka akupun akan menganut A, jika ibu beragama B pastilah aku akan menjadi warga negara beragama B, begitupun seterusnya. Tetapi tidak bisakah ibu melonggarkan pandangan dan memperluas pikiran? Aku tidak ingin mengganggu ketaatannya pada nilai-nilai agama yang ia percayai, hanya saja, tidak bisakah ia melihat hal-hal di luar pagar-pagar agamanya? Aku tidak meminta untuk mengerti, cukup dapat melihat dan menghargai apa yang ada di luar itu saja sudah sangat cukup.

Bagiku, agama adalah sesuatu yang berat. Butuh keyakinan yang kuat. Aku sudah percaya agama apapun di dunia ini adalah mengarah pada kebaikan. Tetapi untuk dapat menjadi penganut yang taat tidaklah mudah. Tuntutan dan bawaan lahir dari seorang ibu yang membawaku tidaklah cukup. Bukan itu yang menjadikan seseorang taat pada agamanya. Dan ibu tidak bisa melihat itu.

Aku bisa memahami, mengapa setiap pagi ibu selalu bersuara keras penuh tekanan emosi. Aku juga tahu, mengapa ibu tak pernah berhenti menceramahi di saat-saat ia bisa mendapatkan peluang untuk berbicara denganku. Aku paham. Ia hanya ingin menjalani perannya dengan baik dan melaksanakan kewajibannya sebagai orang tua. Tetapi tidakkah ia tahu, bahwa segala macam pelajaran dalam hidup yang telah ditularkannya padaku sedari kecil hanyalah menjadi sebuah modal untukku. Tidakkah ia sadar, bahwa dirinya pun memiliki konsepsivitas hidupnya berdasarkan pengalaman hidup selama ia beranjak dewasa. Aku pun begitu ibu. Semua hal yang ibu berikan padaku tidaklah sia-sia, namun aku pun tumbuh dewasa ibu. Partikel-partikel keseharian dan pengalaman hidupku tidaklah sama persis seperti punyamu.

Jika saja ibu bisa melihatku sebagai seorang individu utuh, ibu tidak perlu merasa bahwa segala hal yang aku lakukan dan tidak dapat ibu terima itu tidaklah menjadikan alasan untuk perasaan bersalah. Dalam nilai agamamu, seharusnya ibu tahu bahwa aku bukan lagi tanggungan buku dosamu. Aku sudah memiliki buku dosaku sendiri ibu. Apa yang aku lakukan tidak akan menyeretmu nanti dalam kehidupan setelah dunia yang ini. Dan ibu akan tahu cara yang lain untuk memberikan saran ataupun menjalankan peranmu padaku selain ceramah, atau keluh kesah. Ibu akan paham jalan dalam melaksanankan kewajibanmu yang akan bisa diterima olehku. Dan ibu akan bisa menghargai sikapku.

Sebagai anak perempuan pertamamu, aku bukanlah tidak ingin berbakti. Tentu saja aku paham kodratku sebagai seorang anak. Banyak sekali keinginan-keinginan yang harus kulakukan demi ibu. Tetapi bukan dalam sebuah kebohongan atau kepura-puraan. Aku pun ingin membahagiakanmu. Bagaimanapun cara yang bisa aku lakukan akan kulakukan. Aku tidak menghalangimu dalam hubungan asmaramu yang kompleks, kukerjakan tugas-tugas kuliahmu sebagai bentuk dukunganku pada perkembangan karirmu yang hanya terpaku pada mengajar, kulakukan pekerjaan rumah tangga yang aku bisa. Aku tahu, semua itu tidak sebanding dengan segalanya yang kau lakukan untukku semenjak lahir. Hanya saja, aku tidak mau kalau aku harus berbakti padamu dengan menjadi orang yang taat beragama namun hanya pura-pura. Walaupun aku tahu, hal itu adalah yang paling kau inginkan. Aku tidak bisa ibu. Bagaimanapun hal-hal baik jika berlandaskan pada kebohongan tidaklah akan bertahan.

Aku bukan tidak mau menjadi orang yang taat beragama. Bukan. Hal yang aku tekankan bukanlah itu ibu. Aku hanya ingin kau bisa melihat, bahwa butuh proses yang cukup alot dalam diriku untuk menjadi umat yang shaleh. Kasih sayang dan tuntutan dalam amarahmu tidak akan bisa menjadi landasan bagiku. Aku bukanlah bocah ingusan bu.
Setiap kali kau keluarkan emosimu dan menceramahiku, aku hanya bisa diam. Bukan aku takut, aku hanya menghormati presepsimu. Presepsi yang selalu kau samakan dengan jaman dulu. Aku bukan tidak bisa berkata-kata, hanya saja jika aku timpali perkataanmu ibu pasti akan tersinggung dan merendahkan sikapmu, masih dalam emosi. Karena aku adalah seorang anak dimatamu, bukan seorang pribadi dewasa yang tumbuh.

Aku masih manusia yang biasa ibu, aku juga bisa tersinggung oleh kata-katamu. Kadang-kadang batas diamku tidak bisa menahan pembelaan diri. Aku juga punya hak untuk membela nilai-nilaiku sendiri ibu. Tetapi aku tahu hal itu tidak akan pernah bisa bekerja dengan baik. Setiap kali aku menimpali ucapanmu itu tidak akan berakhir menjadi sebuah diskusi. Aku akan memilih diam kembali. Aku masih menghormatimu. Dan lagi, aku hanya bisa memilih diam. Hanya itu satu-satunya jalan kita bisa cair kembali. Seolah-olah tidak ada perdebatan sengit yang baru saja terjadi. Tidak apalah, bagaimanapun aku ingin hubungan baik denganmu. Aku bisa menerima kekurangan ibu.


Jika aku ingin memiliki tempat tinggalku sendiri, itu bukan salahmu bu. Aku hanya butuh ruang yang bisa kujadikan rumah bagiku. Tempat di mana aku bisa menanamkan nilai-nilaiku sendiri. Karena aku tidak tahu, sampai kapan diam akan menjadi cara untuk menghadapimu. Karena pun aku tahu, aku selalu menyayangimu ibu.

Selasa, 05 November 2013

sesuatu yang bisu

Ini bukan mimpi di tengah hari yang melenakan, atau mimpi buruk tengah malam yang menegangkan. Ini seperti botol bir yang selalu bewarna hijau tua dan keruh. Hanya bias saja apa yang bisa terlihat di dalamnya.
Kilat-kilat peristiwa yang rupa-rupa belum lagi tersulut oleh api menjadi asap yang kadang muncul menghalangi pandangan dan mengganggu pernapasan. Tubuh sudah sibuk menghadapi pengap oleh emosinya sendiri. Seperti warna, jika semuanya bercampur, hanya akan ada hitam. Tidak ada jalan. Tidak ada suara sayup-sayup yang terdengar. Tidak ada keringat yang mengaliri pori. Tidak ada wangi tanah yang basah di sore hari. Tak pula aroma dan rasa manis tembakau tersisa di bibir.

Ini bukanlah kehilangan, ini seperti bentuk pertahanan diri yang memperjuangkan sesuatu yang tak ingin hilang. Ini bukanlah sebuah kesudahan, bukan juga ketertundaan, ini seperti sesuatu di antara benar dan salah. Bukan bertolak dari rasa sakit. Bukan pula sebuah kemurtadan.

Disadari atau tidak, sebuah keterikatan yang selalu berkembang mengikuti lingkar-lingkar di luar garis tak lagi menjaga bentuknya. Melainkan mengatur bentuknya. Walaupun ada pembenaran, kadang terasa salah. Seperti terus mendorong untuk melangkah, namun dengan kaki yang terikat. Sepanjang apa tali yang mengikat, kita tidak pernah tahu. Karena sesuatu yang punya andil mengubah bentuknya selalu menarik-ulur talinya. Kita tidak pernah tahu kapan kita akan tersandung, terjerembab, menabrak tanah. Yang kita tahu hanyalah ketika kita terjatuh ternyata kita masih ada di tempat yang sama. Walaupun melangkah, namun tak pernah maju.

Kita selalu berjalan bersebrangan. Hal kecil adalah hal yang besar. Sesuatu yang sederhana samadengan sesuatu yang rumit. Rasa yang tawar tidak sepadan dengan rasa yang berbumbu. Aku ingin memotong talinya dan kita jalan bersama, kamu bersikeras memaksa menarik talinya dan kita berlari. Kamu memaksa aku mengalah, aku menentang kamu putus asa.


Aku ingin mengembalikan semua seperti semula. Tak ada tekanan, tak ada aturan yang saling memberatkan. Hanya berjalan, keterikatan yang dijaga tetap di luar garis lingkaran. Namun kita tahu, kita selalu bersebrangan. Bagimu, aku menjadi musim yang murtad, cuaca yang ingkar. Bagiku..ah, kita tahu, kita selalu bersebrangan....