Memasuki usia dua puluh lima, aku bertekad ingin memiliki
tempat tinggalku sendiri. Walaupun tidak langsung membeli sebuah rumah, aku akan
memulainya dengan mengontrak sebuah kos-kosan. Tidak begitu luas, hanya
sebentuk ruangan berukuran tiga meter kali dua juga cukup. Bukan sebuah
kebebasan yang aku utamakan. Hanya saja, semakin aku dewasa, semakin sering
pemikiranku bertabrakan dengan konsep yang dianut ibu.
Sebenarnya aku mengerti, ibu hanya ingin menjalani kodratnya
sebagai orang tua yang mewakili dua peran sekaligus. Berhubung ‘ayah’ adalah
sosok yang tidak aku kenal. Keputusannya menjadi kepala keluarga sekaligus ibu
rumah tangga aku yakin tidak mudah. Sebagai perempuan aku cukup mengerti
perasaannya. Hanya sikapnya yang selalu menyalahkan diri sendiri ketika
perbuatan anaknya dirasa tidak benar itulah yang tidak akan pernah aku terima.
Ibu adalah perempuan yang taat beragama. Dia tahu, dosa-dosa
anaknya tidak akan menimpa pada dirinya jika anak-anaknya sudah baligh menurut sunnah. Dia pun tahu,
bagaimana kewajiban yang harus dilakukan pada anaknya dalam hal mendidik,
menggurui, mengarahkan pada nilai-nilai kebaikan, apalagi menekankan kewajiban
beragama. Kedalaman pengetahuannya terhadap agama itulah yang menurutku memberatkan
perasaannya.
Aku tahu, jika aku dilahirkan dari ibu yang beragama A maka
akupun akan menganut A, jika ibu beragama B pastilah aku akan menjadi warga
negara beragama B, begitupun seterusnya. Tetapi tidak bisakah ibu melonggarkan
pandangan dan memperluas pikiran? Aku tidak ingin mengganggu ketaatannya pada
nilai-nilai agama yang ia percayai, hanya saja, tidak bisakah ia melihat
hal-hal di luar pagar-pagar agamanya? Aku tidak meminta untuk mengerti, cukup
dapat melihat dan menghargai apa yang ada di luar itu saja sudah sangat cukup.
Bagiku, agama adalah sesuatu yang berat. Butuh keyakinan
yang kuat. Aku sudah percaya agama apapun di dunia ini adalah mengarah pada
kebaikan. Tetapi untuk dapat menjadi penganut yang taat tidaklah mudah.
Tuntutan dan bawaan lahir dari seorang ibu yang membawaku tidaklah cukup. Bukan
itu yang menjadikan seseorang taat pada agamanya. Dan ibu tidak bisa melihat
itu.
Aku bisa memahami, mengapa setiap pagi ibu selalu bersuara
keras penuh tekanan emosi. Aku juga tahu, mengapa ibu tak pernah berhenti
menceramahi di saat-saat ia bisa mendapatkan peluang untuk berbicara denganku.
Aku paham. Ia hanya ingin menjalani perannya dengan baik dan melaksanakan
kewajibannya sebagai orang tua. Tetapi tidakkah ia tahu, bahwa segala macam
pelajaran dalam hidup yang telah ditularkannya padaku sedari kecil hanyalah
menjadi sebuah modal untukku. Tidakkah ia sadar, bahwa dirinya pun memiliki
konsepsivitas hidupnya berdasarkan pengalaman hidup selama ia beranjak dewasa.
Aku pun begitu ibu. Semua hal yang ibu berikan padaku tidaklah sia-sia, namun
aku pun tumbuh dewasa ibu. Partikel-partikel keseharian dan pengalaman hidupku
tidaklah sama persis seperti punyamu.
Jika saja ibu bisa melihatku sebagai seorang individu utuh,
ibu tidak perlu merasa bahwa segala hal yang aku lakukan dan tidak dapat ibu
terima itu tidaklah menjadikan alasan untuk perasaan bersalah. Dalam nilai
agamamu, seharusnya ibu tahu bahwa aku bukan lagi tanggungan buku dosamu. Aku
sudah memiliki buku dosaku sendiri ibu. Apa yang aku lakukan tidak akan
menyeretmu nanti dalam kehidupan setelah dunia yang ini. Dan ibu akan tahu cara
yang lain untuk memberikan saran ataupun menjalankan peranmu padaku selain
ceramah, atau keluh kesah. Ibu akan paham jalan dalam melaksanankan kewajibanmu
yang akan bisa diterima olehku. Dan ibu akan bisa menghargai sikapku.
Sebagai anak perempuan pertamamu, aku bukanlah tidak ingin
berbakti. Tentu saja aku paham kodratku sebagai seorang anak. Banyak sekali
keinginan-keinginan yang harus kulakukan demi ibu. Tetapi bukan dalam sebuah
kebohongan atau kepura-puraan. Aku pun ingin membahagiakanmu. Bagaimanapun cara
yang bisa aku lakukan akan kulakukan. Aku tidak menghalangimu dalam hubungan
asmaramu yang kompleks, kukerjakan tugas-tugas kuliahmu sebagai bentuk
dukunganku pada perkembangan karirmu yang hanya terpaku pada mengajar,
kulakukan pekerjaan rumah tangga yang aku bisa. Aku tahu, semua itu tidak
sebanding dengan segalanya yang kau lakukan untukku semenjak lahir. Hanya saja,
aku tidak mau kalau aku harus berbakti padamu dengan menjadi orang yang taat
beragama namun hanya pura-pura. Walaupun aku tahu, hal itu adalah yang paling
kau inginkan. Aku tidak bisa ibu. Bagaimanapun hal-hal baik jika berlandaskan
pada kebohongan tidaklah akan bertahan.
Aku bukan tidak mau menjadi orang yang taat beragama. Bukan.
Hal yang aku tekankan bukanlah itu ibu. Aku hanya ingin kau bisa melihat, bahwa
butuh proses yang cukup alot dalam diriku untuk menjadi umat yang shaleh. Kasih sayang dan tuntutan dalam
amarahmu tidak akan bisa menjadi landasan bagiku. Aku bukanlah bocah ingusan
bu.
Setiap kali kau keluarkan emosimu dan menceramahiku, aku
hanya bisa diam. Bukan aku takut, aku hanya menghormati presepsimu. Presepsi
yang selalu kau samakan dengan jaman dulu. Aku bukan tidak bisa berkata-kata, hanya
saja jika aku timpali perkataanmu ibu pasti akan tersinggung dan merendahkan
sikapmu, masih dalam emosi. Karena aku adalah seorang anak dimatamu, bukan
seorang pribadi dewasa yang tumbuh.
Aku masih manusia yang biasa ibu, aku juga bisa tersinggung
oleh kata-katamu. Kadang-kadang batas diamku tidak bisa menahan pembelaan diri.
Aku juga punya hak untuk membela nilai-nilaiku sendiri ibu. Tetapi aku tahu hal
itu tidak akan pernah bisa bekerja dengan baik. Setiap kali aku menimpali
ucapanmu itu tidak akan berakhir menjadi sebuah diskusi. Aku akan memilih diam
kembali. Aku masih menghormatimu. Dan lagi, aku hanya bisa memilih diam. Hanya
itu satu-satunya jalan kita bisa cair kembali. Seolah-olah tidak ada perdebatan
sengit yang baru saja terjadi. Tidak apalah, bagaimanapun aku ingin hubungan
baik denganmu. Aku bisa menerima kekurangan ibu.
Jika aku ingin memiliki tempat tinggalku sendiri, itu bukan
salahmu bu. Aku hanya butuh ruang yang bisa kujadikan rumah bagiku. Tempat di
mana aku bisa menanamkan nilai-nilaiku sendiri. Karena aku tidak tahu, sampai
kapan diam akan menjadi cara untuk menghadapimu. Karena pun aku tahu, aku
selalu menyayangimu ibu.
She loves u too,dear.. :)
BalasHapus