Senin, 13 Februari 2017

Tahun Asing

Januari satu tahun yang lalu, di enam hari pertama, aku banyak diserang oleh rasarasa asing. Rasarasa yang tidak masuk akal. Lahirnya darimana, aku tak tahu. Harus diolah bagaimana, pun aku tak paham sama sekali. Bulan itu, penuh dengan banyak tanda tanya.

Di bulan kedua, rasarasa semakin tidak ramah, aku seringkali 'terserang' terutama saat menjelang pagi. Waktu kantuk biasanya datang, berganti gamang. Bulan ketiga, keempat, kelima, dan keenam, rasarasa yang asing itu semakin beranak pinak, menyisakan tak lagi tanda tanya, bahkan curiga. Sesekali, aku merasa teralienasi dari diri sendiri.

Saat bulan tujuh, di saat tubuh belum lagi sembuh, rasa lelah dan kerinduan pada rengkuh yang bisa kujadikan tempat berlabuh, menumpulkan kepekaan, hantuhantu kepala membisikkan pembenaran. Aku terjatuh dalam euforia semata.

Satu bulan kemudian, tak ada riuhriuh pembenaran. Sedikit demi sedikit, mereka merontokkan diri. Lapang yang tak lengang menampar kesadaran yang dibawa angin. Bahwa aku masihlah harus sendiri. Interaksi manusia, menarikku untuk berjalan pada jalur yang lain. Jalur yang membawaku kembali pada rasarasa asing yang mulai terasa akrab. Aneh bukan, asing yang ingin diakrabi, yang entah akan menjadi tak asing, ataukah menjadi rasa yang bisa dipahami.

Tibatiba aku ingin berlari, jauh. Bayangbayang timur mendominasi. Dalam mimpi, aku digerogoti perasaanku sendiri. Hati sudah terkoyak sepi. Satu tanganku, menggenggam ilalang, dari romantisme masa lalu yang panjang. Ladangnya, menjadi tempatku sementara untuk pulang. Sang tuan kembara yang hilang dalam perjalanannya.

Dia ilalang, sedikit saja genggaman kueratkan, tak butuh waktu lama untuknya patah. Aku tahu, aku tidak bisa selalu menyimpan ruang aman untuk bersembunyi dari si rasa asing. Ilalang kubuang, aku kembali mencari makna pulang.

Wajahwajah beberapa hadir, memberikan senyum dan tawa sedikit hambar. Lapislapis topeng kupasang. Lumayan, sebagai bentuk pertahanan diri dari keadaanku yang sebenarnya dan mudah kulakukan. Lagipula, wajahwajah itu memang hanya pantas dihadapi dengan topeng saja. Sesaat, aku keasikkan bermain peran.

Lalu datang tangis dari orangorang yang aku lupa, kasih mereka tak pernah kelihatan namun selalu ada. Hidup mulai dibicarakan, tangantangan mereka mengelus punggungku. Aku pun menangis. Lalu lega. Dalam kepala, rasa asing membentuk petanya sendiri.

Di bulan keduabelas, doadoa pada semesta mengalir deras menjelang pagi.