Tentang ruang, sungguh berbeda rasanya jika tanpa kehadiran
seseorang. Siapapun di dalamnya, pada ruang seperti memberi ruh, jiwa, atau
warna dan bahkan kehangatan yang berbeda-beda. Aku banyak mengunjungi ruang.
Beberapa di antaranya seperti manusia sendiri. Memiliki identitas yang berbeda,
rasa yang tidak sama.
Rumahku, dengan segala kesejukan di dalamnya, bahkan kadang
terlalu sejuk hingga menimbulkan kelembaban. Pembawaan ibuku yang mendominasi
ruang itu menjadikan rumah terasa nyaman untuk bersantai, terkadang ramah,
namun tidak pernah mengenai batas hangat. Tidak pernah ada api-api kecil dari
secangkir kopi saat duduk bersama. Hanya di ambang saja.
Tobucil, sebuah ruang yang menaungi dan berbasis komunitas.
Dengan prinsip pendirinya, rasanya kemandirian sangatlah kuat kurasakan di
sana. Perasaan hangat juga tidak kalah mendominasi. Motivasi-motivasi dan
celah-celah sisi pandang optimistis memenuhi sela-sela buku dan berbagai macam
barang lain di dalamnya. Dengan beranda sederhana, robusta dan tanaman
merambat.
Siliwangi, ah siliwangi. Dia seperti ibu dari Venesia yang
penuh cinta. Dipenuhi senja yang mengakar pada lekuk jendela. Batas daun pintu
adalah dunia yang asing. Di dalam adalah kandungan dari segala keromantisan.
Ah...siliwangi.
Lalu hadir ruang yang kini, dua jendela dengan halaman.
Dindingnya hijau bernuansa netral namun muram. Rasanya, ruang ini tidak pernah
diam. Aku tidak pernah merasakan perasaan yang stagnan di sini. Seperti musim
di negeri sana yang memiliki empat macam. Pun di sini. Ruang ini memiliki
musimnya sendiri yang entah berapa macam dengan periode tak menentu. Hangat dan
sejuk bergiliran datang dalam hitungan jam. Tenang, dan nyaman selalu mampir
ketika malam. Seperti sosok ayah impian, atau pemuda penuh kasih yang cantik.
Coklat muda atau oranye tua. Penuh percaya dan keyakinan. Sesekali gersang
berbau peluh keringat, sesekali membara menyemangati emosi hati. Suatu siang
layaknya laut mati, terasa sangat luas namun tidak berombak, tidak berarus,
tidak berangin, airnya pun tak beriak.
Namun ruang sangatlah bergantung pada manusianya. Identitas
yang dibawa ruang tidak bisa menetap. Identitas yang mempresentasikan para
penghuninya. Membawa aura dan perasaan halus manusia. Mereka akan hilang dibawa
manusia.
Ruang dengan dua jendela dan halaman, aku tidak percaya kau
membawa perasaan tak aman padaku. Layaknya gesekan biola yang licik, kau
samarkan hawa di balik punggunggku. Ketika malam memang menjadi pilihanku
bekerja, kau selinapi curiga-curiga. Tidak ada tenang, tidak ada nyaman, hanya
kewas-wasan. Siang datang kau sajikan kekosongan. Tidak ada manis, asin, asam,
hanya tawar yang hambar.
Kukerjakan apa yang harus kukerjakan. Aku tahu, ruang ini
bukan milikku.
Aku rindu manusia yang membawa identitas ruang dengan dua
jendela dan halaman ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar